Selasa, 08 Mei 2012

KERAJAAN SRIWIJAYA

1. Sejarah

Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan
Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka.
Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti
tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-
kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat
nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang
memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes
kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-
ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota
Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan
sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti
Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara
sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang
disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai
sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh
dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa,
Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar

tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Temuan ini

menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini
semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,
yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami.
Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang
merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di
Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di
pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat
ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti
di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di
Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata.
Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.










Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya.
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904
M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang
Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci
Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di
tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi
nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai
pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi
nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling
sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan
I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat
lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India.
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru
ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat
banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada
masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada
masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh
sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya
diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari
kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan
Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

2. Silsilah

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang
berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama
Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian
lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar
silsilah para raja Sriwijaya:

Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).










1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

3. Periode Pemerintahan

Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini
berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya
kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.

4. Wilayah Kekuasaan

Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor
yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah
runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang
kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut
Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan
kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di
pulau Borneo.

Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha
menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu
adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan
Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan
bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan
bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa,
Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
5. Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga
persyaratan yaitu:

Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu

memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Premium Herryza Themes | Bloggerized by herryza - Premium herryzanusic Themes | media pembelajaran, Gold Price in India