tag:blogger.com,1999:blog-85741600207564494542024-02-08T07:59:56.928-08:00Sejarah DuniaSejarah Duniahttp://www.blogger.com/profile/08650069823750575706noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-8574160020756449454.post-14802984893026641042012-05-08T16:17:00.002-07:002012-05-08T16:17:37.296-07:00KERAJAAN KUTAI1. Sejarah<br />
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai<br />
Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.<br />
a. Kutai Martadipura<br />
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di<br />
Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan<br />
kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7<br />
buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.<br />
<br />
Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa<br />
<br />
Sansekerta tersebut<br />
<br />
menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan<br />
Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja<br />
Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim.<br />
Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti<br />
dan Salasilah Kutai.<br />
b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura<br />
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala<br />
tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan<br />
penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring<br />
berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti<br />
(1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama.<br />
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil<br />
menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan<br />
kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya<br />
Kutai Kartanegara Ing Martadipura.<br />
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai<br />
Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti<br />
dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji<br />
Muhammad Idris (1735-1778).<br />
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke<br />
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,<br />
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan<br />
Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris,<br />
tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan.<br />
Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa<br />
dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan<br />
gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.<br />
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai<br />
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada<br />
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar<br />
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di<br />
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.<br />
Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.<br />
Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan<br />
mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini.<br />
kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya,<br />
Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar<br />
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di<br />
Pulau Jembayan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke<br />
Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus<br />
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya)<br />
dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama<br />
Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat<br />
laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga<br />
saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad<br />
Salehuddin.<br />
c. Era Kolonial Eropa<br />
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan<br />
James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka<br />
mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di<br />
perairan Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan<br />
hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan<br />
keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah<br />
istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan<br />
Inggris. Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran<br />
tersebut.<br />
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak<br />
melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa<br />
Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi<br />
tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya<br />
untuk menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai<br />
Awang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke<br />
Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda.<br />
<br />
Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan<br />
<br />
A.M. Salehuddin harus<br />
<br />
menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada<br />
Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai<br />
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati<br />
bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.<br />
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur<br />
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak<br />
pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan<br />
kepada Sultan Sulaiman.<br />
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk<br />
pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo<br />
dengan nama kerajaan Kooti.<br />
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status<br />
Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan<br />
lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula<br />
Dewan Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.<br />
2. Silsilah<br />
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai<br />
Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah<br />
Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai<br />
Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga<br />
raja. Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang<br />
sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang<br />
berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga.<br />
Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di<br />
abad ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat<br />
ini. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)<br />
2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)<br />
3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)<br />
4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)<br />
5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)<br />
6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)<br />
7. Aji Dilanggar (1610-1635)<br />
8. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)<br />
9. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)<br />
10. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)<br />
11. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)<br />
12. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)<br />
13. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)<br />
14. Aji Muhammad Idris (1732-1778)<br />
15. Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)<br />
16. Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)<br />
17. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)<br />
18. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)<br />
19. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)<br />
20. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)<br />
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)<br />
<br />
3. Periode Pemerintahan<br />
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada<br />
abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai<br />
Kartanegara akibat kalah perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak<br />
abad ke-13 hingga saat ini.<br />
4. Wilayah Kekuasaan<br />
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama<br />
daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura,<br />
mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai<br />
Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.<br />
5. Struktur Pemerintahan<br />
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di<br />
Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka<br />
bisa disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak<br />
lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.<br />
6. Kehidupan Sosial-Budaya<br />
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali<br />
bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti<br />
tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai.<br />
Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan<br />
sosial budaya di masa lalu.<br />
a. Kehidupan Sosial<br />
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan<br />
kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi<br />
persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat<br />
suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.<br />
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi<br />
tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah<br />
melakukan kegiatan dagang.<br />
b. Kehidupan Budaya<br />
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa<br />
dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga<br />
upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan<br />
pertama kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut<br />
para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman,<br />
kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana<br />
pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah<br />
memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana<br />
mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta.<br />
Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur,<br />
menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban<br />
yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah<br />
ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik<br />
adalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara<br />
Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan<br />
sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan<br />
hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman<br />
prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju.<br />
Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak,<br />
seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan<br />
keramik yang sangat indah.Sejarah Duniahttp://www.blogger.com/profile/08650069823750575706noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8574160020756449454.post-30803271406287319032012-05-08T16:16:00.002-07:002012-05-08T16:16:49.386-07:00KERAJAAN SRIWIJAYA1. Sejarah<br />
<br />
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika<br />
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.<br />
Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan<br />
Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka.<br />
Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti<br />
tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau<br />
gelar raja.<br />
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-<br />
kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as<br />
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat<br />
nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang<br />
memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes<br />
kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.<br />
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,<br />
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay<br />
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-<br />
ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886<br />
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota<br />
Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan<br />
sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.<br />
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti<br />
Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh<br />
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar<br />
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara<br />
sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang<br />
disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai<br />
sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat<br />
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat<br />
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.<br />
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh<br />
dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa,<br />
Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar<br />
<br />
tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan<br />
<br />
sehari-hari. Temuan ini<br />
<br />
menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini<br />
semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,<br />
yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang<br />
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami.<br />
Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang<br />
merupakan pusat kerajaan semakin kuat.<br />
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti<br />
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di<br />
Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di<br />
pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh<br />
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat<br />
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat<br />
ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti<br />
di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari<br />
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di<br />
Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata.<br />
Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya.<br />
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904<br />
M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang<br />
Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur<br />
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci<br />
Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti<br />
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di<br />
tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi<br />
nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai<br />
pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi<br />
nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.<br />
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling<br />
sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang<br />
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan<br />
I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat<br />
lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha<br />
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India.<br />
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru<br />
ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya<br />
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha<br />
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan<br />
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.<br />
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan<br />
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,<br />
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat<br />
banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,<br />
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.<br />
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada<br />
masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti<br />
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada<br />
masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para<br />
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh<br />
sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.<br />
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya<br />
diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan<br />
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan<br />
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari<br />
kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan<br />
Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun<br />
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.<br />
<br />
2. Silsilah<br />
<br />
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan<br />
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang<br />
berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan<br />
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja<br />
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama<br />
Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram<br />
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian<br />
lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar<br />
silsilah para raja Sriwijaya:<br />
<br />
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).<br />
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).<br />
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).<br />
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).<br />
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).<br />
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).<br />
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).<br />
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).<br />
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).<br />
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).<br />
<br />
3. Periode Pemerintahan<br />
<br />
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman<br />
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini<br />
berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya<br />
kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.<br />
<br />
4. Wilayah Kekuasaan<br />
<br />
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor<br />
yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah<br />
runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang<br />
kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut<br />
Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan<br />
kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke<br />
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di<br />
pulau Borneo.<br />
<br />
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan<br />
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha<br />
menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan<br />
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu<br />
adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah<br />
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan<br />
Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada<br />
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan<br />
bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan<br />
bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa,<br />
Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.<br />
5. Struktur Pemerintahan<br />
<br />
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga<br />
persyaratan yaitu:<br />
<br />
Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.<br />
Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan<br />
kesejahteraan pada rakyatnya.<br />
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu<br />
<br />
memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.Sejarah Duniahttp://www.blogger.com/profile/08650069823750575706noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8574160020756449454.post-6686314962920032402012-05-08T16:15:00.002-07:002012-05-08T16:15:49.085-07:00KERAJAAN PAGARUYUNG1. Sejarah<br />
<br />
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi<br />
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari<br />
ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran<br />
dari Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi<br />
Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.<br />
<br />
Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah<br />
Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca<br />
Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian<br />
itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk<br />
dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah<br />
kemudian lahir Aditywarman.<br />
<br />
Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman merupakan seorang pejabat di<br />
Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut. Tapi<br />
kemudian, Adityawarman justru melepaskan diri dari Majapahit. Dalam sebuah prasasti<br />
bertahun 1347, disebutkan bahwa Aditywarman menobatkan diri sebagai raja atas daerah<br />
tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut<br />
dengan ruyung pohon kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena itulah, negeri<br />
itu kemudian disebut dengan Pagaruyung.<br />
<br />
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun<br />
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,<br />
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun<br />
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri<br />
akibat konflik yang terjadi dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.<br />
<br />
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki<br />
sistem politik semacam konfederasi yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai<br />
nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam<br />
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).<br />
<br />
2.Wilayah Kekuasaan<br />
<br />
Wilayah pengaruh politik Pagaruyung dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:<br />
<br />
dari Sikilang Aia Bangih<br />
hingga Taratak Aia Hitam.<br />
Dari Durian Ditakuak Rajo<br />
hingga Sialang Balantak Basi.<br />
<br />
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan<br />
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak<br />
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah<br />
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.<br />
<br />
3. Struktur Pemerintahan<br />
<br />
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari yang merupakan satuan wilayah<br />
otonom. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas<br />
dalam memerintah. Misalnya nagari punya kekayaan sendiri dan memiliki pengadilan adat <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah<br />
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum<br />
penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.<br />
<br />
Di daerah darek umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai<br />
masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku,<br />
dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan<br />
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih<br />
dahulu.<br />
<br />
Di daerah rantau seperti di Pasaman kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-<br />
raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura raja mengambil gelar sultan.<br />
<br />
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah rantau. Ia boleh membuat peraturan<br />
dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini adalah Pasaman, Kampar, Rokan,<br />
Indragiri dan Batanghari. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung (di Luhak Nan Tigo) meskipun<br />
tetap dihormati ia hanya bertindak sebagai penengah.<br />
<br />
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya Raja Pagaruyung dibantu oleh dua orang raja lain, Raja<br />
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja<br />
Adat memutuskan masalah-masalah adat sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah<br />
agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung yang disebut<br />
sebagai Raja Alam.<br />
<br />
Selain kedua raja tadi Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai, artinya orang besar<br />
yang berempat. Mereka adalah:<br />
<br />
<br />
1.<br />
<br />
<br />
Bandaro (bendahara) atau Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab.<br />
<br />
Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri. Bendahara<br />
dibandingkan dengan jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka<br />
<br />
ini dapat Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Bertugas memelihara hubungan dengan<br />
rantau dan kerajaan lain.Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Bertugas memelihara adat-istiadat<br />
Tuan Kadi berkedudukan di Padang Ganting. Bertugas menjaga syariah agama<br />
<br />
<br />
Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk dalam Basa Ampek Balai, namun derajatnya sama.<br />
Tuan Gadang bertugas sebagai panglima angkatan perang.<br />
<br />
Sebagai aparat pemerintah masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu di<br />
mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya. Daerah-daerah ini disebut rantau masing-<br />
masing. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat<br />
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau<br />
di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.Sejarah Duniahttp://www.blogger.com/profile/08650069823750575706noreply@blogger.com0