Selasa, 08 Mei 2012

KERAJAAN KUTAI

1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai
Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di
Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan
kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7
buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa

Sansekerta tersebut

menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan
Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja
Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim.
Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti
dan Salasilah Kutai.
b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala
tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring
berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama.
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil
menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan
kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya
Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai
Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti
dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji
Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan
Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris,
tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan.
Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa
dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.
Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan
mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini.
kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya,
Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di
Pulau Jembayan.










Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke
Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya)
dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama
Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat
laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga
saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin.
c. Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan
James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka
mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di
perairan Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan
hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan
keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah
istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan
Inggris. Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran
tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak
melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa
Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi
tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya
untuk menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai
Awang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke
Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda.

Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan

A.M. Salehuddin harus

menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada
Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati
bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan
kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk
pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo
dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status
Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan
lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula
Dewan Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai
Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah
Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai
Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga
raja. Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang
sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang
berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga.
Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di
abad ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat
ini.













1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7. Aji Dilanggar (1610-1635)
8. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
12. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14. Aji Muhammad Idris (1732-1778)
15. Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16. Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)

3. Periode Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada
abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai
Kartanegara akibat kalah perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak
abad ke-13 hingga saat ini.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama
daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura,
mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai
Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di
Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka
bisa disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak
lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali
bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti
tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai.
Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan
sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan
kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi
persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum










Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat
suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi
tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah
melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa
dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga
upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan
pertama kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut
para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman,
kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana
pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah
memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana
mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta.
Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur,
menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban
yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah
ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik
adalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara
Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan
sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan
hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman
prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju.
Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak,
seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan
keramik yang sangat indah.

KERAJAAN SRIWIJAYA

1. Sejarah

Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan
Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka.
Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti
tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-
kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat
nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang
memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes
kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-
ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota
Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan
sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti
Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh
kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara
sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang
disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai
sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh
dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa,
Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar

tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Temuan ini

menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini
semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,
yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami.
Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang
merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di
Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di
pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat
ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat
ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti
di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di
Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata.
Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.










Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya.
Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904
M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang
Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur
merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci
Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di
tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi
nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai
pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi
nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling
sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan
I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat
lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India.
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru
ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha
dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat
banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada
masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada
masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh
sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya
diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari
kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan
Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

2. Silsilah

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang
berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama
Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian
lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar
silsilah para raja Sriwijaya:

Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).










1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

3. Periode Pemerintahan

Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman
keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini
berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya
kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.

4. Wilayah Kekuasaan

Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor
yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah
runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang
kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut
Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan
kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di
pulau Borneo.

Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan
Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha
menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan
Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu
adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan
Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan
bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan
bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa,
Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
5. Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga
persyaratan yaitu:

Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu

memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

KERAJAAN PAGARUYUNG

1. Sejarah

Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari
ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran
dari Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi
Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.

Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah
Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca
Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian
itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk
dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah
kemudian lahir Aditywarman.

Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman merupakan seorang pejabat di
Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut. Tapi
kemudian, Adityawarman justru melepaskan diri dari Majapahit. Dalam sebuah prasasti
bertahun 1347, disebutkan bahwa Aditywarman menobatkan diri sebagai raja atas daerah
tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut
dengan ruyung pohon kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena itulah, negeri
itu kemudian disebut dengan Pagaruyung.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun
resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri
akibat konflik yang terjadi dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki
sistem politik semacam konfederasi yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai
nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam
perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

2.Wilayah Kekuasaan

Wilayah pengaruh politik Pagaruyung dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:

dari Sikilang Aia Bangih
hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi.

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak
Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah
wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.

3. Struktur Pemerintahan

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari yang merupakan satuan wilayah
otonom. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas
dalam memerintah. Misalnya nagari punya kekayaan sendiri dan memiliki pengadilan adat










sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah
persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum
penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Di daerah darek umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai
masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku,
dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih
dahulu.

Di daerah rantau seperti di Pasaman kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-
raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura raja mengambil gelar sultan.

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah rantau. Ia boleh membuat peraturan
dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini adalah Pasaman, Kampar, Rokan,
Indragiri dan Batanghari. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung (di Luhak Nan Tigo) meskipun
tetap dihormati ia hanya bertindak sebagai penengah.

Untuk melaksanakan tugas-tugasnya Raja Pagaruyung dibantu oleh dua orang raja lain, Raja
Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja
Adat memutuskan masalah-masalah adat sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah
agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung yang disebut
sebagai Raja Alam.

Selain kedua raja tadi Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai, artinya orang besar
yang berempat. Mereka adalah:


1.


Bandaro (bendahara) atau Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab.

Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri. Bendahara
dibandingkan dengan jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka

ini dapat Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Bertugas memelihara hubungan dengan
rantau dan kerajaan lain.Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Bertugas memelihara adat-istiadat
Tuan Kadi berkedudukan di Padang Ganting. Bertugas menjaga syariah agama


Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk dalam Basa Ampek Balai, namun derajatnya sama.
Tuan Gadang bertugas sebagai panglima angkatan perang.

Sebagai aparat pemerintah masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu di
mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya. Daerah-daerah ini disebut rantau masing-
masing. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau
di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.

 
Design by Premium Herryza Themes | Bloggerized by herryza - Premium herryzanusic Themes | media pembelajaran, Gold Price in India